Pages

Dec 26, 2011

10 Kerusakan dalam Tahun Baru

Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru.
Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram
Perlu diketahui bahwa perayaan (’ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’”[2]
Namun setelah itu muncul berbagai perayaan (’ied) di tengah kaum muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi. Perayaan semacam ini berarti di luar perayaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.
Perhatikan penjelasan Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:
Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal:
  1. Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
  2. Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.
  3. Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.
Hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua:
  1. Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau
  2. Ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
    مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
    Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Misalnya adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari kemerdekaan. Peringatan maulid nabi itu terlarang karena hal itu termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan di samping menyerupai orang-orang Nasrani dan golongan orang kafir yang lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena menyerupai orang kafir.”[3] -Demikian penjelasan Lajnah-
Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir.
Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir
Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ » . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ « وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ »
Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“[4]
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” [5]
An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”[6]
Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.
Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh).
Beliau bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [7]
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[8]
Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.
Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.”
Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud lantas berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.” [9]
Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.
Kerusakan Keempat: Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru
Kita telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’).
Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[10]
Kerusakan Kelima: Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu
Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik.
Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.
Ibnul Qoyyim -rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[11]
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).”[12]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[13] Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.
Dengan merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput dari amalan yang utama yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[14] Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari oleh orang-orang sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena bertemu dengan waktu yang mustajab untuk berdo’a yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut namun ia menyia-nyiakannya. Melalaikan shalat malam disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.
Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat
Begadang tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[15]
Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”[16] Apalagi dengan begadang, ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!
Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina
Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi. Padahal dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan kemaluan telah berzina. Ini berarti melakukan suatu yang haram.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[17]
Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”[18]
Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”[19] Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!
Kerusakan Kesembilan: Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan
Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (Qs. Al Isro’: 26-27)
Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh sikap boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”[20]
Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga
Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” [21]
Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian.
Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”[22]
Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ
“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (Qs. Fathir: 37). Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”[23]
Inilah di antara beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru. Sebenarnya masih banyak kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu dalam tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang muslim tentu akan berpikir seribu kali sebelum melangkah karena sia-sianya merayakan tahun baru. Jika ingin menjadi baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi baik tentulah dengan banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah berikan. Bersyukur yang sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan dengan berbuat maksiat dan bukan dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia. Lalu yang harus kita pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin? Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah semakin meningkat ataukah semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan seorang muslim setiap kali bergulirnya waktu.
Ya Allah, perbaikilah keadaan umat Islam saat ini. Perbaikilah keadaan saudara-saudara kami yang jauh dari aqidah Islam. Berilah petunjuk pada mereka agar mengenal agama Islam ini dengan benar.
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud: 88)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.



http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/2844-10-kerusakan-dalam-perayaan-tahun-baru-.html

Bagaimana Kita Menyikapi Tahun Baru Masehi ?

    
   Diantara kebiasaan orang dalam memasuki tahun baru di berbagai belahan dunia adalah dengan merayakannya, seperti begadang semalam suntuk, pesta kembang api, tiup terompet pada detik-detik memasuki tahun baru, wayang semalam suntuk bahkan tidak ketinggalan dan sudah mulai ngetrend di beberapa tempat diadakan dzikir berjama’ah menyongsong tahun baru. Sebenarnya bagaimana Islam memandang perayaan tahun baru?
Bolehkah Merayakannya?
     Tahun baru tidak termasuk salah satu hari raya Islam sebagaimana ‘Iedul Fitri, ‘Iedul Adha ataupun hari Jum’at. Bahkan hari tersebut tergolong rangkaian kegiatan hari raya orang-orang kafir yang tidak boleh diperingati oleh seorang muslim.
Suatu ketika seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam menanyakan kepadanya: “Apakah disana ada berhala sesembahan orang Jahiliyah?” Dia menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya, “Apakah di sana tempat dirayakannya hari raya mereka?” Dia menjawab, “Tidak”. Maka Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Tunaikan nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dan dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam”. (Hadits Riwayat Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan terlarangnya menyembelih untuk Allah di tempat yang bertepatan dengan tempat yang digunakan untuk menyembelih kepada selain Allah, atau di tempat orang-orang kafir merayakan pesta atau hari raya. Sebab itu berarti mengikuti mereka dan menolong mereka di dalam mengagungkan syi’ar-syi’ar kekufuran. Perbuatan ini juga menyerupai perbuatan mereka dan menjadi sarana yang mengantarkan kepada syirik. Apalagi ikut merayakan hari raya mereka, maka di dalamnya terdapat wala’ (loyalitas) dan dukungan dalam menghidupkan syi’ar-syi’ar kekufuran. Akibat paling berbahaya yang timbul karena berwala’ terhadap orang kafir adalah tumbuhnya rasa cinta dan ikatan batin kepada orang-orang kafir sehingga dapat menghapuskan keimanan.
Keburukan yang Ditimbulkan
Seorang muslim yang ikut-ikutan merayakan tahun baru akan tertimpa banyak keburukan, diantaranya:
  1. Merupakan salah satu bentuk tasyabbuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir yang telah dilarang oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.
  2. Melakukan amal ketaatan seperti dzikir, membaca Al Qur’an, dan sebagainya yang dikhususkan menyambut malam tahun baru adalah pebuatan bid’ah yang menyesatkan.
  3. Ikhtilath (campur baur) antara pria dan wanita seperti yang kita lihat pada hampir seluruh perayaan malam tahun baru bahkan sampai terjerumus pada perbuatan zina, Na’udzubillahi min dzaalika…
  4. Pemborosan harta kaum muslimin, karena uang yang mereka keluarkan untuk merayakannya (membeli makanan, bagi-bagi kado, meniup terompet dan lain sebagainya) adalah sia-sia di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Serta masih banyak keburukan lainnya baik berupa kemaksiatan bahkan kesyirikan kepada Allah.


    http://muslimah.or.id/manhaj/menyikapi-tahun-baru-masehi.html

Dec 19, 2011

Amanah Dakwah: Beban VS Bekal

By: Nurhasanah Sidabalok
Staf  Dept. RPK UKMI Ar- Rahman UNIMED 2011- 2012

“Bapak kamu tukang cat ya?”
“Kok tau?”
“Karena kamu telah membuat hatiku lebih berwarna”
Cuit… cuit…

Demikian rayuan gombal yang sedang marak kita dengarkan di kalanga kaum muda saat ini. Tidak ada yang salah. Hanya ingin mendapatkan sebuah senyuman dari seorang sahabat. Senyum yang seolah sudah sangat sulit untuk ditemukan di saat seperti ini. Senyum yang sudah direbut sang agenda- agenda dan dibawa pergi jauh. Senyum yang seakan- akan bukan saatnya lagi dimunculkan di tengah- tengah amanah dakwah yang dibawa. Hingga tak jarang tanpa disadari banyak orang- orang terdekat mulai menjauh satu persatu.


Dakwah kampus butuh pengorbanan. Ia sifatnya dinamis, hingga selalu ada tuntutan- tututan baru untuk para kader dakwah. Bukan hal yang aneh jika seseorang yang sejak bergabung di dakwah kampus, banyak yang merasa ditinggal. Artinya, waktu yang kita miliki akan semakin terbagi hingga masing- masing bagian harus rela memberikan sebagain porsinya untuk dakwah ini. Yang menjadi aneh adalah ketika seseorang tidak merasakan perubahan itu hingga ia jauh melangkah dalam agenda dakwahnya. Jadi satu pemahaman yang harus kita samakan adalah bahwa berhubungan dengan dakwah kampus akan membuat warna dan perjalanan hidup kita akan berbeda dari yang lain. Terlepas perbedaannnya itu seperti apa, itu disesuaiakan dengan posisi kita sebagai apa pada awalnya dan masa sekarang. 

Berangkat dari pemahaman tersebut, tentu bukan suatu alasan untuk kemudian menyalahkan dakwah ini atas berbagai perubahan yang terjadi dalam hidup kita. Tersitanya banyak waktu, terkurasnya pikiran, adalah lumrah. Selanjutnya, apakah kita akan membiarkan semua amanah ini merenggut masa muda kita??? (ckckck). Relakah kita jika kebahagiaan yang selama ini kita rasakan dibawa pergi olehnya? Padatnya agenda bukan selanjutnya membolehkan kita untuk mengurangi tegur sapa, senyum kepada saudara kita serta menayakan kabar mereka. Bukan demikian yang diharapkan. Sungguh dakwah ini terlalu suci untuk kita cemari dengan pemahaman yang sangat berseberangan. Tidak layak. Sungguh kerdil  diri kita jika demikian cara kita menjalankan dakwah ini. So, how? Bagaimana langkah yang harus kita ambil hingga dakwah ini tidak serta merta merenggut masa muda kita yang katanya untuk bersenang- senang? Hingga kita juga mampu merasakan apa yang orang lain rasakan di luar sana? 

Sebagai seorang aktivis dakwah kampus yang cerdas dan soleh, tentunya kita harus mampu untuk menentukan sikap dan mengambil langkah yang tepat. Jika dihadapkan pada situasi demikian dimana amanah terasa berat, bukan pilihan yang tepat untuk kemudian mengorbankan senyuaman kita yang selama ini berkilau. Yang perlu dilakukan adalah upaya mempersiapkan diri menerima amanah dan kemudian meningkatkan kemampuan dalam menjalankan amanah. Bentuk konkritnya dapat diperhatikan sebagai berikut.

Pertama, memahami konsep dakwah seutuhnya. Saat kita paham akan hakikat dakwah sebenarnya, maka proses ini tidak kemudian menciutkan langkahnya. Perubahan- perubahan yang kita alami dalam hidup sejak bergabung di dakwah ini akan dipandang sebagai hal yang wajar. Saat paham bahwa dakwah itu tidak ditaburi oleh bunga- bunga melainkan penuh onak duri dan rintangan, kita akan menanggapinya sebagaimana seorang kader seharusnya bersikap. Hingga amanah dakwah tidak dianggap menjadi beban yang berat dan tak berarti, namun dipandang sebagai lading amal dan investasi. 

Untuk itu, sering- seringlah mengikuti kajian- kajian keislaman seperti tasqif, keputrian, atau bentuk forum lainnya. Satu hal yang sangat disayangkan adalah banyaknya kader (pengurus, red) yang merasa dirinya tidak perlu lagi untuk mengikuti suplemen- suplemen untuk anggota baru, dengan alasan sudah pernah atau ada hal lain yag sengaja dijadikan alasan untuk tidak mengikutinya. Perlu kita pahamai bersama bahwa, materi yang sama jika disampaikan oleh orang berbeda pada waktu dan tempat yag berbeda hasilnya akan berbeda. Untuk itu perlu kembali kita bangun rasa ingin tahu dan rendah hati untuk duduk belajar bersama dengan mereka yang bukan pengurus. Jadilah pembelajar sejati!

Kedua, berbagi dengan kader lain. Sekilas mungkin akrab, namun ternyata jauh. Tegur sapa, salam, ternyata belum cukup menjadi bukti nyata kedekatan kita. Serng- seringlah berdiskusi! Satu permasalahan klasik yang masih juga ditemukan di lapangan bahwa ada beberapa kader yang merasa enggan untuk bertanya atau sekadar berbagi kabar dengan yang lain. Sebut saja misalnya dengan kakak/ abangnya. Apakah itu mungkin tak sempat, tak pantas, atau mungkin tak tau apa yang ingin ditanyakan atau dibagikan. 

Budaya berdiskusi hendaknya lebih digalakkan sebagai cirri khas dari para aktivis dakwah kampus. Tidak dipungkiri, efek yang dihasilkan dari budaya ini sangat luar biasa tertama dalam pengokohan eksistensi. Hal ini dapat menjadi keuatan bagi diri kita untuk saatnya menanmkan satu statement: saya tidak sendiri. Kita pribadi juga akan paham bahwa amanah yang kita miliki ternyata belum seberapa dibandingkan amanah saudara yang lain. Sehingga buka suatau alasan untuk kita menemui saudara kita dengan kerutan di wajah disertai goresan- goresan amanah di dahi.

Ketiga, mendekatkan diri kepada- Nya. Saat amanah diberikan pada kita, satu hal yang harus segera dipahamai dan dimaknai adalah, amanah ini datangnya dari Allah, bukan dari Koord. Dept. Kaderisasi, Ketua Umum, atau murabbi dan sebagainya. Jika ini sudah terpatri jelas dalam hati kita, maka ia akan mengantarkan kita pada suatu upaya untuk melayakkan diri menerima amanah tersebut di hadapan- Nya. Selanjutnya, ia akan menjadikan diri kita sosok yang produktif, bukan malah di kemudian hari berkata,”Nah kan, siapa suruh ana diberikan amanah ini. Sudah ana bilang gak sanggup tetap saja dipaksa.”

Bertaqarrub kepada Allah akan membantu kita dalam menjalankan amanah ini. Seberapapun maksimalnya usaha kita jika tidak dibarengi  dengan rasa harap dan butuh akan bantuan- Nya, akan sult bagi kita untuk mencapai target- targetnya.

Akhirnya, dakwah adalah satu kebutuhan bagi kita untuk memperbanyak bekal di hari akhir nanti. Amanah dakwah tidak layak untuk dianggap sebagai beban. Ia akan menjadikan kita lebih dewasa. Lebih mampu mengambil langkah, lebih bijaksana. Amanah ini hanya akan bisa dijalankan dengan baik jika kita memiliki ilmu, jika kita paham hakikat dakwah, jka kita dekat dengan Sang Pemberi amanah. Amanah ini tidak harus dibawakan dengan raut wajah tegang dan penuh goresan agenda. Pemahaman ini akan mengantarkan kita pada hari- hari yang indah dalam menjalankan amanah, tanpa harus merusak kebahagiaan orang lain. Semoga bermanfaat. (20/12san)

Dec 8, 2011

RESENSI

Mencoba Menyelami Kedalaman Lautan Cinta-Nya




Sungguh, segalanya akan menjadi indah karena cinta. Pandanglah setiap apa yang kita hadapi dengan cinta. Selesaikan segala perkara dunia-akhirat dengan cinta. Cinta yang bermula dari-Nya sang maha mencintai. Dialah sumber cinta dari segala yang ada di muka bumi. Semua tercipta dan ada di dunia karena hasrat cinta-Nya. Cinta-Nya adalah sumber kekuatan hidup
dan kehidupan.
SEGALA keindahan, pesona, dan keagungan yang hadir di hadapan kita dan menggetarkan jiwa kita adalah Cinta- Nya. Dialah Tuhan yang bersinggasana di atas batas cakrawala yang tak dapat dibayangkan oleh kekuatan akal dan imaji manusia. Adalah Dia yang selalu tersenyum dan melimpahkan kasih sayang-Nya tanpa batas, meski manusia berperang atas nama cinta kepada-Nya.

Tuhan sebagai pemilik cinta telah bersumpah kepada diri-Nya akan selalu menganugerahkan cinta-Nya yang tanpa batas. Dia tidak pernah melihat ciptaan-Nya dengan mata pilih kasih dan berpihak. Dia memiliki mata yang tajam setajam matahari. Matanya menembus ke dalam hati semua ciptaan-Nya. Hati-hati yang dipenuhi dengan cinta akan menjadi dekat dan damai. Akan melihat kehadiran-Nya di setiap penjuru. Pada sekuntum mawar yang merah merekah, pada langit biru, pada warna-warni pelangi, atau justru pada tsunami yang terlihat garang. Semuanya didorong oleh hasrat cinta –Nya yang tanpa batas kepada ciptaan-Nya.

Pada satu titik kesimpulan kita harus sama-sama mengikrarkan bahwa cinta-Nya bukan cinta biasa. Bukan cinta yang biasa dilafazkan sesama manusia. Bukan cinta yang sebatas mengasihi dan kemudian berkorban demi yang dicintai. Tasirun Sulaiman, penulis produktif (sudah menerbitkan 10 buku) dan alumnus Pondok Pesantren Gontor mencoba menjabarkan kedahsyatan cinta itu. Puisi dan cerita pendek Jalaluddin Rumi mencipta ide-idenya untuk menkanvas keajaiban cinta. Ya, bukan cinta biasa.

Permainan dunia dengan segala tipu dayanya terkadang menerbangkan manusia ke atas awang-awang kealfaan diri untuk mencintai-Nya. Di sisi lain ada sekelompok manusia yang mengaku sangat mencintai-Nya dan sudah yakin bahwa dirinya akan menghuni surga. Bukankah sejatinya cinta mengantarkan hamba-hamba-Nya untuk kembali menyadari bahwa Dialah yang Maha Agung maka lepaskanlah jeruji Kesombongan Diri. Sehingga pada batas waktunya hanya hamba yang ikhlas (murni) mencintailah yang akan merasakan kenikmatan segala balasan dari-Nya.

30 Renungan Cinta
Dalam buku ini Tasirun Sulaiman menghimpunkan 30 renungan cinta yang terinspirasi dari Jalaluddin Rumi. Pengemasan bahasa yang syarat makna dan dibingkai dengan terapan kisah-kisah para tokoh (berpengaruh) yang menghias setiap renungan buku ini memberi suplemen penguatan jiwa raga agar senantiasa menjalani hidup dan kehidupan di dunia dengan cinta.

Membaca serta menelaah baris demi baris, halaman demi halaman isi buku ini seumpama menyelami meter demi meter kedalaman lautan cinta-Nya. Perlahan bermula dari permukaan laut yang mengajak kita bercermin tetang keberadaan diri ini dari mana kita diciptakan, untuk apa kita diciptakan, hingga ke mana akhir kehidupan ini kita tandaskan. Ya, manusia berlomba-lomba Mengejar Kesempurnaan menyadari apakah cinta yang kita semai akan mekar bersamaan dengan cinta-Nya.

Saat berada di tengah permukaan laut sesungguhnya kita berada pada kondisi peperangan batin karena godaan setan yang membisikkan tentang kenikmatan dunia (tahta, harta, wanita) berusaha menggoyah kekuatan cinta yang sedang kita sampaikan pada-Nya. Ketika benteng-benteng iman telah kokoh maka terjangan godaan setan sebesar apa pun tak akan mampu merobohkan pondasi-pondasi cinta yang mulai menggapai wujud-Nya. Dasar laut pun telah tergapai, kecintaan hamba akan menemu jawaban dari-Nya. Akankah Allah menyambut cinta kita? akankah cinta yang telah lama menunggu di sayup rindu ini terobati? Kedalaman lautan cinta-Nya telah kita selami, dasar pepasir pun telah tergenggam. Satu doa yang terpanjat, moga Allah mengijabah cinta kita.

Pengalaman spiritual Tasirun Sulaiman tentang pemaknaan sebuah cinta mensketsa imaji-imaji unik dalam buku ini. Penyampaian kisah cinta juga dicantumkan dalam buku ini. Akan tetapi ada masalah yang biasa dihadapi penullis dalam merangkai gagasannya. Adanya kata-kata istilah yang mengandung pemaknaan mendalam menjadikan pembaca awam sulit untuk menguasai aura cinta yang menggugah jiwa. Keluwesan alur cerita juga dirasa agak rumit dipahami mungkin karena pengaruh Tasirun Sulaiman yang lebih cenderung mengungkapkan gagasannya dalam bentuk ilmiah. Pembaca lebih menyukai bentuk cerita untuk memahami cinta.

Buku penggugah pembangkit hasrat cinta ini paling tidak dapat dijadikan sebagai media perenungan bagi Anda yang sedang berada dalam ruang kegundahan yang di dalamnya diselimuti cercah-cercah tanya sudahkah cinta ini berlabuh pada cinta-Nya? Semoga kegundahan itu juga termasuk tanda-tanda cinta-Nya. Akhinya mari kita nikmati sajian buku ini dengan segenap kerinduan dan kecintaan menyambut salam cinta-Nya. ( Mukhlis al-anshor)