Pages

Mar 11, 2012

Prestasi dan Kontribusi


By: Nurhasanah Sidabalok
Staff Dept. RPK UKMI Ar- Rahman UNIMED 2011- 2012 

Berprestasi adalah impian setiap mahasiswa. Melihat nama di papan pengumuman mading sebagai pemenang lomba, peserta terbaik dalam sebuah event, delegasi kampus dalam acara kunjungan maupun perlombaan, pemenang PKM, mawapres  dan berbagai kemungkinan lainnya adalah saat yang ditunggu- tunggu. Satu lagi, pengumuman penerima beasiswa juga menjadi satu hal menarik di kalangan mahasiswa. hal- hal demikian dirasa menjadi prestasi yang akan memberikan motivasi lebih lagi untuk berkarya di masa yang akan datang serta upaya penokohkan diri.

Namun benarkah prestasi hanya dilihat dari pengumuman- pengumuman itu?
Seorang muslim juga tentu dituntut untuk berprestasi dalam hidupnya. Bagaimanakah seorang muslim memaknai kata prestasi? Dalam Islam, prestasi dikaitkan dengan amal soleh. Ketika seseorang mampu beramal soleh di sekelilingnya, maka saat itu pula dia dikatakan berprestasi. Dengan kata lain, dia melakukan sesuatu untuk orang lain dimana orang lain merasakan manfaat atas apa yang dia lakukan.

Karakter dasar seorang muslim adalah memberi manfaat kepada sesamanya, bukan berpangku tangan atau bersikap masa bodoh dengan kemampuannya, apalagi mencegah orang lain memberi manfaat. Terkait hal ini, sahabat Umar bin Khattab yang terkenal dengan ketegasannya mencela sikap Muhammad bin Maslamah yang melarang Dhahak bin Khalifah yang ingin membuat saluran air. Umar berkata,”Kenapa kamu menghalangi saudaramu untuk membuat sesuatu yang bermanfaat baginya dan bagimu juga, kamu bisa minum darinya dan itu tidak membahayakanmu?” (HR. Malik)

Jika kita lihat di sekeliling kita, masih banyak mahasiswa yang masih sibuk berpikir akan nilai tanpa memperhatikan manfaat yang bisa diberikannya pada orang lain. Terlalu asyik dengan dunianya sendiri tanpa mencoba sedikit memikirkan manfaat apa yang bisa orang lain rasakan darinya. “Sori deh, boro- boro bantuin dia, gue aja kewalahan”. Mungkin demikian jawaban beberapa teman yang ketika ditanyakan alasannya bersikap masa bodoh. Atau mungkin merasa rendah diri dengan kekurangannya, “Wah, mana ada yang bisa diandalkan dariku”. Kedua alasan itu hanyalah alasan yang dibuat- buat untuk menghindar dari sebuah tanggungjawab. Tidak inginkah kita sedikit berbagi dengan orang lain? Layakkah kita membatasi kemampuan diri sementara Tuhan kita telah memberikan banyak potensi pada kita? Sudahkah kita aktifkan seluruh tombol- tombol dari sisi kehidupan kita hingga bisa memberi kontribusi lebih?

Kita dituntut untuk berkontribusi, bukan hanya meminta kontribusi orang lain. Hal ini sejalan dengan didikan Rasulullah kepada para sahabat yang baru masuk Islam kala itu, yakni didikan berdakwah dengan semangat memberi kepada orang lain, semangat memfungsikan apa saja potensi yang dimiliki.

Status mahasiswa semoga tidak hanya sebatas status di KTM yang melayakkan kita mengikuti berbagai seleksi beasiswa dalam dan luar negeri, mempunyai hak untuk hidup nyaman dengan kucuran dana orangtua, ataupun berfoya- foya bersama teman kampus dengan alasan menikmati masa muda. Sesungguhnya kita harus lebih banyak berpikir akan apa yang bisa kita berikan dengan status mahasiswa yang kita punya. Saat ini ssudah kita pahami bersama, maka nilai bukan lagi menjadi orientasi utama kita untuk duduk di bangku perkuliahan. Namun yang menjadi titik tujuan kita adalah manfaat. Bukankah Rasulullah pernah bersabda,”Sebaik- baik kamu adalah yang paling bermanfaat diantaramu?

Jika kita berpikir nilai bagus kita akan mendongkrak nilai teman- teman kita juga, kenapa harus dapat nilai buruk?
Jika datang ke kampus lebih awal dan membantu teman yang kesulitan belajar, kenapa harus datang terlambat?
Jika singgah sebentar di mushola dan membuat saudara kita tersenyum, kenapa harus tergesa- gesa melewatinya?
Jika bergeser sedikit dari tempat duduk di dekat pintu angkot dan memudahkan penumpang lainnya untuk duduk nyaman, kenapa harus bertahan duduk di sana?
Jika berjalan dengan penuh semangat ceria dan membuat saudara kita merasa bahagia kenapa harus merengut?
Jika sesuatu itu baik dan bermanfaat, kenapa tidak kita kerjakan?

Saat mahasiswa berpikir seperti ini, maka tidak akan kita temukan lagi berbagai kebencian, permusuhan, ketakutan, kesedihan. Semua akan berupaya untuk menciptakan ketenangan dan memberikan solusi untuk masalah- masalah yang ada. Hingga mahasiswa menjadi leader opinion di tengah masyarakat dan saat itulah prestasi terbesar baginya.
Semoga bermanfaat. Salam kontribusi! (11/03san)

Mar 3, 2012

Hasan Al Bashri : Sang Pemberani Penyeru Kebenaran

Suatu hari ummahatul mu’minin, Ummu Salamah, menerima khabar bahwa mantan “maula” (pembantu wanita)-nya telah melahirkan seo¬rang putera mungil yang sehat. Bukan main gembiranya hati Ummu Salamah mendengar berita tersebut. Diutusnya seseorang untuk mengundang bekas pembantunya itu untuk menghabiskan masa nifas di rumahnya.

Ibu muda yang baru melahirkan tersebut bernama Khairoh, orang yang amat disayangi oleh Ummu Salamah. Rasa cinta ummahatul mu’minin kepada bekas maulanya itu, membuat ia begitu rindu untuk segera melihat puteranya. Ketika Khairoh dan puteranya tiba, Ummu Salamah memandang bayi yang masih merah itu dengan penuh sukacita dan cinta. Sungguh bayi mungil itu sangat menawan. “Sudahkah kau beri nama bayi ini, ya Khairoh?” tanya Ummu Salamah. “Belum ya ibunda. Kami serahkan kepada ibunda untuk menamainya” jawab Khai¬roh. Mendengar jawaban ini, ummahatul mu’minin berseri-seri, seraya berujar “Dengan berkah Allah, kita beri nama Al-Hasan.” Maka do’apun mengalir pada si kecil, begitu selesai acara pembe¬rian nama.

Al-Hasan bin Yasar – atau yang kelak lebih dikenal sebagai Hasan Al-Basri, ulama generasi salaf terkemuka – hidup di bawah asuhan dan didikan salah seorang isteri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam: Hind binti Suhail yang lebih terkenal sebagai Ummu Salamah. Beliau adalah seorang puteri Arab yang paling sempurna akhlaqnya dan paling kuat pendiriannya, ia juga dikenal – sebelum Islam – sebagai penulis yang produktif. Para ahli sejarah mencatat beliau sebagai yang paling luas ilmunya di antara para isteri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
Waktu terus berjalan. Seiring dengan semakin akrabnya hubun¬gan antara Al-Hasan dengan keluarga Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, semakin terbentang luas kesempatan baginya untuk ber”uswah” (berteladan) pada ke¬luarga Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Pemuda cilik ini mereguk ilmu dari rumah-rumah ummahatul mu’minin serta mendapat kesempatan menimba ilmu bersama sahabat yang berada di masjid Nabawiy.

Ditempa oleh orang-orang sholeh, dalam waktu singkat Al-Hasan mampu meriwayatkan hadist dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dan sahabat-sahabat RasuluLlah lainnya. Al-Hasan sangat mengagumi Ali bin Abi Thalib, karena keluasan ilmunya serta kezuhudannya. Penguasan ilmu sastra Ali bin Abi Thalib yang demikian tinggi, kata-katanya yang penuh nasihat dan hikmah, membuat Al-Hasan begitu terpesona.
Pada usia 14 tahun, Al-Hasan pindah bersama orang tuanya ke kota Basrah, Iraq, dan menetap di sana. Dari sinilah Al-Hasan mulai dikenal dengan sebutan Hasan Al-Basri. Basrah kala itu terkenal sebagai kota ilmu dalam Daulah Islamiyyah. Masjid-masjid yang luas dan cantik dipenuhi halaqah-halaqah ilmu. Para sahabat dan tabi’in banyak yang sering singgah ke kota ini.Di Basrah, Hasan Al-Basri lebih banyak tinggal di masjid, mengikuti halaqah-nya Ibnu Abbas. Dari beliau, Hasan Al-Basri banyak belajar ilmu tafsir, hadist dan qiro’at. Sedangkan ilmu fiqih, bahasa dan sastra dipelajarinya dari sahabat-sahabat yang lain. Ketekunannya mengejar dan menggali ilmu menjadikan Hasan Al-Basri sangat ‘alim dalam berbagai ilmu. Ia terkenal sebagai seorang faqih yang terpercaya.
Keluasan dan kedalaman ilmunya membuat Hasan Al-Basri banyak didatangi orang yang ingin belajar langsung kepadanya. Nasihat Hasan Al-Basri mampu menggugah hati seseorang, bahkan membuat para pendengarnya mencucurkan air mata. Nama Hasan Al-Basri makin harum dan terkenal, menyebar ke seluruh negeri dan sampai pula ke telinga penguasa.

Ketika Al-Hajaj ats-Tsaqofi memegang kekuasan gubernur Iraq, ia terkenal akan kediktatorannya. Perlakuannya terhadap rakyat¬ terkadang sangat melampaui batas. Nyaris tak ada seorang pun penduduk Basrah yang berani mengajukan kritik atasnya atau menen¬tangnya. Hasan Al-Basri adalah salah satu di antara sedikit penduduk Basrah yang berani mengutarakan kritik pada Al-Hajaj. Bahkan di depan Al-Hajaj sendiri, Hasan Al-Basri pernah menguta¬rakan kritiknya yang amat pedas.

Saat itu tengah diadakan peresmian istana Al-Hajaj di tepian kota Basrah. Istana itu dibangun dari hasil keringat rakyat, dan kini rakyat diundang untuk menyaksikan peresmiannya. Saat itu tampillah Hasan Al-Basri menyuarakan kritiknya terhadap Al-Hajaj: “Kita telah melihat apa-apa yang telah dibangun oleh Al-Hajaj. Kita juga telah mengetahui bahwa Fir’au membangun istana yang lebih indah dan lebih megah dari istana ini. Tetapi Allah menghancurkan istana itu … karena kedurhakaan dan kesombongannya …”
Kritik itu berlangsung cukup lama. Beberapa orang mulai cemas dan berbisik kepada Hasan Al-Basri, “Ya Abu Sa’id, cukupkanlah kritikmu, cukuplah!” Namun beliau menjawab, “Sungguh Allah telah mengambil janji dari orang-orang yang berilmu, supaya menerangkan kebenaran kepada manusia dan tidak menyembunyikannya.”

Begitu mendengar kritik tajam tersebut, Al-Hajaj menghardik para ajudannya, “Celakalah kalian! Mengapa kalian biarkan budak dari Basrah itu mencaci maki dan bicara seenaknya? Dan tak seo¬rangpun dari kalian mencegahnya? Tangkap dia, hadapkan kepadaku!” .

Semua mata tertuju kepada sang Imam dengan hati berge¬tar. Hasan Al-Basri berdiri tegak dan tenang menghadapi Al-Hajaj bersama puluhan polisi dan algojonya. Sungguh luar biasa ketenan¬gan beliau. Dengan keagungan seorang mu’min, izzah seorang muslim dan ketenangan seorang da’i, beliau hadapi sang tiran.

Melihat ketenangan Hasan Al-Basri, seketika kecongkakan Al-Hajaj sirna. Kesombongan dan kebengisannya hilang. Ia langsung menyambut Hasan Al-Basri dan berkata lembut, “Kemarilah ya Abu Sa’id …” Al-Hasan mendekatinya dan duduk berdampingan. Semua mata memandang dengan kagum.
Mulailah Al-Hajaj menanyakan berba¬gai masalah agama kepada sang Imam, dan dijawab oleh Hasan Al-Basri dengan bahasa yang lembut dan mempesona. Semua pertanyaan¬nya dijawab dengan tuntas. Hasan Al-Basri dipersilakan untuk pulang. Usai pertemuan itu, seorang pengawal Al-Hajaj bertanya, “Wahai Abu Sa’id, sungguh aku melihat anda mengucapkan sesuatu ketika hendak berhadapan dengan Al-Hajaj. Apakah sesungguhnya kalimat yang anda baca itu?” Hasan Al-Basri menjawab, “Saat itu kubaca: Ya Wali dan PelindungKu dalam kesusahan. Jadikanlah hukuman Hajaj sejuk dan keselamatan buatku, sebagaimana Engkau telah jadikan api sejuk dan menyelamatkan Ibrahim.”

Nasihatnya yang terkenal diucapkannya ketika beliau diundang oleh penguasa Iraq, Ibnu Hubairoh, yang diangkat oleh Yazid bin Abdul Malik. Ibnu Hubairoh adalah seorang yang jujur dan sholeh, namun hatinya selalu gundah menghadapi perintah-perintah Yazid yang bertentangan dengan nuraninya. Ia berkata, “Allah telah memberi kekuasan kepada Yazid atas hambanya dan mewajibkan kita untuk mentaatinya. Ia sekarang menugaskan saya untuk memerintah Iraq dan Parsi, namun kadang-kadang perintahnya bertentangan dengan kebenaran. Ya, Abu Sa’id apa pendapatmu? Nasihatilah aku …”

Berkata Hasan Al-Basri, “Wahai Ibnu Hurairoh, takutlah kepada Allah ketika engkau mentaati Yazid dan jangan takut kepada Yazid¬ketika engkau mentaati Allah. Ketahuilah, Allah membelamu dari Yazid, dan Yazid tidak mampu membelamu dari siksa Allah. Wahai Ibnu Hubairoh, jika engkau mentaati Allah, Allah akan memelihara¬mu dari siksaan Yazid di dunia, akan tetapi jika engkau mentaati Yazid, ia tidak akan memeliharamu dari siksa Allah di dunia dan akhirat. Ketahuilah, tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam ma’siat kepada Allah, siapapun orangnya.” Berderai air mata Ibnu Hubairoh mendengar nasihat Hasan Al-Basri yang sangat dalam itu.

Pada malam Jum’at, di awal Rajab tahun 110H, Hasan Al-Basri memenuhi panggilan Robb-nya. Ia wafat dalam usia 80 tahun. Pendu¬duk Basrah bersedih, hampir seluruhnya mengantarkan jenazah Hasan Al-Basri ke pemakaman. Hari itu di Basrah tidak diselenggarakan sholat Ashar berjamaah, karena kota itu kosong tak berpenghuni.